headerversi2

Friday, October 26, 2007

kapan ya bisa lebih berguna buat orang banyak?? (refleksi buat diri sendiri)

Kemaren temen saya maen ke kantor, awalnya kita ngobrol bisnis kemudian topik melebar ke berbage hal hingga nyampe pada hal yang sebenernya telah menggelisahkan diri saya sejak lama.

Temen saya ngomong,” Di, tau ga baru akhir-akhir ini aku ngerasa jadi engineer!”

Lho kok?”,dahi saya sedikit berkerut.

Iya, bahkan hampir sejak kuliah hingga tiga tahun setelahnya inilah, baru aku ngerasa bener-bener jadi seorang engineer!

Deg. Sempat saya terkesiap. Ingatan itu…Rendezvous. Sudah berapan lama saya lulus (yang katanya seorang insinyur), menghabiskan uang milik rakyat yang disubsidikan ke saya? kemudian sudah berapa jauh saya menggunakan ilmu yang saya peroleh? Berapa karya yang sudah saya bikin dengan ilmu yang didapat? Berapa orang yang sudah mengambil manfaat dari ilmu yang hampir 6,5 tahun saya ulik (wah lamaa banget kuliahnya mas!).

Iya, baru kali ini aku ngerasa punya sebuah ide tentang sebuah produk/karya dan aku bisa secara berkelanjutan ngutak-atik, merekayasa dan mewujudkannya! Bayangkan seandainya banyak temen kita dulu (pas S1) yang ngerasain seperti yang aku rasain sekarang. Mahasiswa banyak melakukan riset, berkarya, dan menikmati apa yang mereka lakukan. Bayangkan seandainya ada dua ribu (2000) lulusan terbaik Indonesia menyumbangkan satu TA (tugas akhir) yang berkualitas! Itu adalah karya yang tidak main-main!”, temen saya semakin mengebu-gebu melanjutkan ceritanya.

Tapi yang terjadi ternyata memang berbeda dengan keinginan temen saya. Banyak temen-temen dari universitas ini yang kemudian tidak terfasilitasi, baik oleh lingkungan terdekat maupun sistem yang lebih besar. Banyak bakat yang kemudian seperti menghilang. Kalo laskar pelangi bercerita tentang kejeniusan yang tidak menemukan kesempatannya, kiranya di universitas ini dalam rentang kenyataan yang sedikit berbeda sebenernya punya kejadian yang hampir mirip. Banyak temen kami yang kemudian berpindah jalur. Sarjana Teknik Elektro yang kemudian memilih jualan beras, sarjana Teknik Geodesi yang kemudian memilih jualan batagor, Sarjana Teknik Planologi yang memilih jualan pasir, sarjana teknik mesin yang kemudian jual reksa dana, ato sarjana pertambangan yang jadi politisi….dan seterusnya. Ternyata kalo diteruskan statistiknya akan sangat mengejutkan.

Ah, di Indonesia ini mana ada insinyur ato ilmuwan kaya?! Lebih mending kuliah ekonomi, bisa jadi direktur, ato sekalian maen di politik, berarti megang anak teknik sekalian anak ekonomi ”, kata temen saya yang baru-baru ini saya tahu emang masuk ke salah satu partai politik.

“Apakah aku salah?”, tanya saya sewot.

Iya jelas! Bahwa kamu sudah menyia-nyiakan amanat rakyat yang membiayaimu untuk belajar bidang itu tapi tidak menjalankannya, kamu salah besar! Tapi untuk survive di tengah sistem yang mblukuthuk ini hukumnya tentu ya gimana lagi! La daripada kamu mati!”,temen saya menimpali.

Saya tau di universitas ini banyak sekali manusia jenius yang bahkan pinternya tuh seperti susah dicerna dengan akal sehat. Ada seorang anak Elektro (saya lupa angkatannya) yang TA (tugas akhirnya) tentang utek-utek seng biar bisa punya konduktivitas hampir sama dengan emas. Seng yang sangat murah bisa menggantikan emas untuk bahan pengganti semikonduktor pada CHIP. Untuk sebuah karya TA, ini adalah karya yang luarbiasa. Saya sempat membayangkan seandainya TA nya ini diriset lebih lanjut untuk kemudian diteruskan menjadi sebuah industri CHIP-prosesor, betapa kepercayaan diri kita sebagai bangsa akan bisa kembali terangkat. Ato penemuan anak Kimia yang bisa memisahkan zat pada cacing untuk pengobatan kangker. Cacing seperti kita tahu mengandung banyak sekali khasiat, mulai dari tipes, kosmetik dsb. Saya membayangkan jika dua ribu (2000) lulusan universitas ini mempunyai karya TA seperti itu ato minimal 10% nya saja, untuk kemudian ditindaklanjuti oleh system yang terkait (kampus, pemerintah, dan dunia industri), betapa bangsa kita ini mampu mengangkat kepalanya lebih tinggi, tidak menjadi makhluk yang inferior tak berdaya.

Yang terjadi? Banyak TA-TA berkualitas yang kemudian hanya berhenti memenuhi rak perpustakaan. Bahkan saya sendiri pun hanya seperti kebanyakan mahasiswa. TA saya asal-asalan, asal jadi, hanya memenuhi syarat kelulusan. Dan setelah kuliah pun saya mencoba berbage hal mulai dari jualan, bekerja, untuk kemudian jualan lagi, tapi “tidak di bidang yang saya pelajari di kuliah”. Padahal harusnya kami bisa lebih dari itu! Kami-kami telah melalui saringan yang ketat, kami ini putra-putri terbaik bangsa (inilah arogansi menyedihkan dari kami). Karena pertanyaannya kemudian trus apa yang bisa diperbuat kebanyakan dari kami? Kami kebanyakan berdalih.

Pernah saya mengajukan pembelaan, saya tidak pernah diberi contoh yang “bagus” dari dosen-dosen kami. Dosen adalah guru, guru adalah digugu (diturut) dan ditiru. Kami tidak cukup punya dosen panutan yang membuat karya-karya luarbiasa. Dosen-dosen yang inspiratif. Kami justru banyak mendapat "jam kosong" karena dosen sedang mroyek. Dosen asik mroyek, kami pun ikutan asik mroyek. “Kebanggaan kami” adalah dosen ber BMW. Dosen pragmatis, kami pun ikutan pragmatis. Siapa bisa disalahkan? Karena dosen memang butuh makan.

Padahal ada sebuah hitungan sederhana dari sebuah riset. Kita misalkan seandainya khusus untuk melakukan satu riset mahasiswa diberi gaji Rp 2jt (sudah seneng minta ampun buat pamer ke pacarnya), kemudian dosen yang membimbing digaji Rp 5jt. Riset awal dilakukan selama setahun, maka total biaya yang dikeluarkan hanya 84jt. Ah tidak seberapa!

Karena bandingkan dengan banyak hal ironis terjadi di negeri ini. Kemaren temen saya dapat orderan proyek untuk sistem keamanan jaringan internet sekolah sebesar Rp 35 jutaan. Ironisnya temen saya itu dapet orderan dari temennya, dan temennya itu dapet orderan dari temennya lagi. Ini ada tiga rantai tidak penting. Pada rantai terakhir ini besaran nilai proyeknya adalah 300jt. Duh Gusti!! Padahal hanya membuat system keamanan jaringan sekolah yang hanya membutuhkan cumi-cumi peringatan dan mentok mentok antivirus. Satu hari pun selesai!

Sampai kapan ya kisah-kisah ironi ini akan terjadi, Kapan ya bangsa ini akan menjadi bangsa yang punya daya saing dan menjadi bangsa kompetitif? Kapan ya birokrasi kita ga banyak utak atik mblukuthuk? Punya harga diri dan percaya diri??

Sementara kemaren saya baca di kompas sebuah artikel yang membuat terkesiap dan sedikit lemes. Cartoon Network Enterprise telah menyediakan dana investasi sangat besar untuk menyiapkan karakter-karakter kartunnya. Untuk 2000-2005 telah dianggarkan biaya 500 juta dolar US untuk membuat kartun baru dan akan berlanjut dengan dana yang sama pada 2005-2010. Bagi Shasim Direkur Eksekutifnya, Indonesia merupakan pasar yang penting!

Di penutup artikel itu,

“Sebenarnya ia tengah menunjuk kita dan bocah-bocah Indonesia sebagai pasar yang tak berdaya”.

Lalu apa kabar industri kreatif indonesia???
Temen nyeletuk, "Wis, ndonga asal slamet donya akherat ae mas, rasah neko-neko!"

Tuesday, October 23, 2007

harus amat sangat kuat!

Saya sama temen saya kemaren motor-motoran ke daerah Cieumbeleuit. Rencananya adalah mencari kontrakan di daerah yang sejuk untuk kantor baru. Ketika nyampe di satu perumahan, saya jadi gegelengan kepala tidak kepalang, mulut sampe nganga dibuatnya ngeliat barisan rumah elite disitu. Mungkin tidak banyak yang tahu ada perumahan elite di daerah sini karena memang tempatnya yang terpencil dan jalan untuk menuju daerah itu yang "ga enak dilewati". Saya dan teman saya baru sekali ini melewati daerah ini dan ga tahu kenapa dalam hati terbersit ungkapan “Seperti apa rasanya kalo saya berada di dalamnya!?”

Yang blok pertama, adalah rumah-rumah besar mewah biasa, di daerah dago dan perumahan elite lainnya udah banyak. Ketika sampe di blok kedua, disitu terdapat tiga rumah hampir mirip. Mulailah kami rada mendelik dan berdecak-decak ngeri. Saya jadi seperti jalan-jalan ke beberapa tower di Jakarta karena untuk melihat puncak ketiga rumah tersebut tiada jalan lain kecuali ndangak (menengadah?) jauh ke atas! Disamping sangat tinggi harus diakui rumah-rumah itu besarnya minta ampyun deh!. Dikelilingi tembok-tembok yang tinggi, tiga rumah itu tampak begitu kokoh, begitu besar, begitu angkuh.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, kekagetan kami dibuat bertambah-tambah lagi. Di suatu sudut yang menyendiri, tampak di depan kami benteng (ya kami harus menyebutnya benteng!) yang sangat besar. Di dalamnya, di sela-sela tembok candi (benteng!) yang cukup tinggi itu, seperti tersembunyi sebuah KERAJAAN! Karena ternyata ini lebih gila lagi! Ternyata di Bandung ini ada sebentuk rumah mirip Kerajaan Majapahit! Hehehe, kalo ga percaya dateng ke bandung deh, nanti saya anterin! Jangankan masuk ke pekarangannya, benteng yang panjangnya Naudzubillah itu juga dihiasi dengan pahatan yang mengingatkan saya pada candi-candi di Gedong Songo Jogja. Bahkan untuk melintasi sepanjang benteng naik motor aja kami butuh 5 menitan. Saya mengintip dari kisi-isinya dan melihat pilar-pilar yang sangat tinggi serta pendopo/bangunan rumah yang membuat saya bergidik. Ada yang membuat saya tidak percaya, sedikit ngeri. Satu pertanyaan, “ Orang ini kerjanya apaan ya??!

Pada awalnya bisa jadi berangkat dari filosofi yang begitu mulia. Kalo saya ingin menolong orang lain, maka saya harus bisa menolong diri sendiri terlebih dahulu. Kalo saya ingin menguatkan orang lain, maka saya harus kuat dulu. Yang kemudian jadi pertanyaan adalah sampe seberapa kuat untuk bisa menolong orang lain? Dan jawabannya ternyata sangat relatif. Saya dan Anda bisa jadi mempunyai ukuran yang berbeda pada kata CUKUP. Cukup ada, cukup punya, cukup uang, cukup kuat, dst memang tidak sama pengertiannya di tiap orang. Boleh jadi di satu kesempatan Anda hanya cukup punya uang 50ribu untuk sebuah alasan membeli baju sepantasnya dan sisanya disisihkan untuk disedekahkan. Ato di kesempatan lain ketika status sosial sudah naik, maka Anda cukup membutuhkan 5juta (tidak harus 10 juta seperti temen Anda) untuk alasan membeli baju yang pantas dan sisanya (kalo ada) disedekahkan.

Apakah ada yang salah? Dalam kenyataannya tidak pernah mudah mengukur relativitas cukup. Untuk orang yang hanya punya 50 ribu, 5juta adalah uang yang banyak, sedangkan untuk orang yang punya 5 juta bukankah sebaliknya? Apakah tidak adil? Apakah ada yang merasa disakiti ato tersakiti? Saya belum tahu deh, saya ga punya hak mengukur persepsi orang tentang kata cukup. Karena kepantasan bisa jadi sangat relatif. Persepsi orang sangat subyektif tentang hal ini.

Okelah misal sekarang saya yang masih kere ini misuh (kok bisa?) melihat deretan rumah-kerajaan itu, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa dalam perjalanan saya tidak akan melakukan hal yang seperti itu? Siapa bisa menjamin saya tidak berubah pikiran, jika suatu saat saya pun pengin “tidak sekedar kuat, tapi saya harus lebih kuat”. Kemudian tidak hanya lebih kuat, tapi saya harus amat kuat, kemudian tak pernah cukup dengan amat kuat, karena saya harus teramat sangat kuat sekaliiiiiiiiiiiiiiiiii dst dst dan seterusnya...

Seventhings yang menjadi alasan mengapa (kok lelaki?) yang harus kuat ?:


1. Karena doktrin dari sejak bayi kaya gitu
2. Karena lelaki biasanya lebih berotot
3. Karena lelaki ga melahirkan
4. Karena lelaki ga ngalamin menstruasi
5. Karena lelaki selalu pengin melindungi cewek
6. Karena ego lelaki ingin dianggap begitu
7. Karena di rumah tangga yang jadi kepala keluarga adalah lelaki

Monday, October 08, 2007

jawaban ke seseorang yang saya tidak tau siapa

Kemaren hari jumat malem tanggal 4 Oktober pukul 21.04 saya nerima sms. Sebuah nomer yang tidak ada di phone book. Begini sms nya:

“Aslmlkm. Blh tau ap sih fantasi perjaka tentang pnikahn? Btw, ttg nikah , klo hanya karena nafsu mgk rsn~a akan sama dengan sop buah. Klo kelak antm (ini antum) nikah moga bkn krn lpr mata”

Waktu jam itu saya masih di luar dan hape tidak saya bawa, baru sekitar 21.30an saya balas smsnya,

“Saya ga tau sapa saudara, tapi saya jawab di blog aja deh. Moga saudara sudah berbuka puasa, jadi ga laper .

Waduh, siapa ya ini? Ada yang protes…Saya bertanya-tanya, dia komen tentang tulisan saya di blog tapi ke hape?Gaya bahasanya juga ga familiar, tapi sepertinya dia temen saya (tapi temen saya jarang yang pake ana-antum gini), ato paling engga temennya temen saya, ato ah biarin, saya ngga ambil pusing. Saya anggap aja malekat yang lagi ngingetin saya…:P Sebuah tulisan ternyata bersifat multitafsir. Point saya di tulisan itu sebenernya bukan di titik tentang nikah, ato fantasi perjaka tentang nikah, tapi ternyata ada tafsiran yang melebar ke arah sana. Sungguh saya belum nikah, jadi pendapat ini mungkin hanya bersifat meraba-raba, sedikit membayangkan, dan (berfantasi?) Boleh jadi! hehehe.

Satu hal yang saya catet dari sms itu adalah saya diingetin bahwa pernikahan bukanlah hal yang sekedar-kedaran, sekedar menuntaskan hasrat, sekedar menuruti kebutuhan sosial ataupun seksual belaka. Saya dingetin kalo tujuan nikah lebih dari itu. Jelas saya setuju! Kalo hanya sekedar itu apa bedanya manusia dengan kebo? Tapi emang di tulisan itu mungkin saya terlalu gegabah membandingkan beli sop buah sama nikah. Mungkin ada analogi yang kurang pas, membandingkan barang dengan manusia, akan tetapi point saya di tulisan itu adalah tentang fantasi yang kadang menjadi di-lebihkan (tolong catet), daripada kenyataan yang terjadi kemudian.

Dan karena memang keinginan dan kebutuhan itu berlainan. Fantasi adalah sebuah mimpi, keinginan yang belum menjadi kenyataan. Keinginan sifatnya sangat subyektif dan inilah yang disebut nafsu. Saat cuaca panas sedemikian rupa, keinginan saya adalah minum es sebanyak-banyaknya, kalo perlu saya beli sampe yang jual-jualnya. Tapi kebutuhan kerongkongan dan perut di kenyataannya tidak seheboh itu. Paling mentok kita cuma perlu segelas dua gelas untuk menuntaskannya. Hampir di semua keinginan akan selalu bersanding dengan kebutuhan, dalam berbagai kondisi.

Sebenernya fantasi tentang pernikahan ini terjadi sama semua orang, tidak perduli lelaki ato perempuan,masing-masing memiliki fantasi sendiri-sendiri, sekali lagi sangat subyektif. Normatifnya adalah seperti dalam buku-buku provokasi nikah, semua orang pasti pengin keluarga sakinah mawaddah wa rahmah (silahkan dibaca sendiri), tapi saya pingin coba mengajukan pendekatan sebuah model. Dimulai dengan siapa yang menjadi pasangan idealnya. Fantasi-keinginan perjaka tentang sosok seorang istri ideal mungkin wajahnya seperti artis-artis jelita, shalihah perilakunya, pintar, cerdas otaknya, hatinya mulia semulia siti khadijah, menyenangkan dan menenangkan hati senantiasa dst dst…pokoknya yang bagus-bagus. Fantasi perempuan ya sebelas dua belas.

Itu adalah keinginan, sedangkan kebutuhan apalagi kenyataan kadang menjadi hal yang berbeda. Seseorang lelaki mungkin diberi istri yang cantik nya minta ampun. Dalam hal ini keinginan dan kenyataan terwujud, tapi berbicara kebutuhan bisa beda urusan. Apakah dia memang membutuhkan istri yang seperti itu? Bagaimana kalo lelaki itu malah jadi kesulitan me”maintenance”, apakah tidak malah menjadi “tekor” luar dalam. Bagaimana kalo ternyata perempuan itu sangat ramah pada siapa saja dan lelaki pasangannya itu sangat cemburuan?? Wah rame nih kayanya…hehehe.

Kalo di sms saya didoakan seandainya menikah semoga tidak karena lapar mata, maka tentu saja saya akan mengamininya. Terbayangkan sungguh, akan menjadi seorang yang gila kalo saya menikah karena hal tersebut. Ngeliat tiap hari lahir dan bermunculan wanita yang tambah lebih cantik, lebih seger, lebih banyak lagi dari era sebelumnya kemudian saya pengin nikahi semua! Wah sungguh..beneran ni, kalo nurutin capeeee deh! Padahal katanya kunci kebahagian lelaki adalah cukup seorang istri shalihah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi membuatmu merasa aman. Mau cantik, mau jelek, mau judes, mau manja, mau apapun asal seorang lelaki bisa “merasakan” itu dari pasangannya beresss! Intinya itu.

Kemudian tentang menyamakan menikah dengan minum sop buah, dalam hal ini mungkin saya tetap ngeyel ada kaitannya, yaitu dalam ketiga hal tadi, keinginan, kebutuhan dan kenyataan. Tapi kemudian harus ada catatan lanjutannya. Dalam hal menikah tidak sama dengan minum es, tentu saja saya mengamini bahwa setelah menikah tidak lantas menjadi biasa-biasa saja, datar, dingin, kaku dan seperti dahaga lepas ya sudahlah.

Romantisme adalah kata yang menarik. Disini subyektifitas berperan. Subyektifitas keluarga itu sendiri. Kita akan sulit mendefinisikan bahagia dan romatisme sebuah keluarga hanya pada sebuah kasus, apalagi hanya sekedar berdasar perbedaan/persamaan sifat. Setiap individu subyektif, punya kesenangan ato ketiksenangan yang tak sama, ketika bergabung menjadi satu keluarga, dua subyektifitas bertemu akan menimbulkan dinamika dan harmonisasi yang berbeda-beda, untuk kemudian keluarga itu pun harus menjadi unsur subyektif di tengah lingkungan (walah). Intinya adalah “cara” sebuah keluarga mendefinisikan dan mempraktekkan bahagia yang beda-beda. Ada yang perlu pake bunga-bunga tiap hari biar bisa romantik dan bahagia, ada yang perlu cubit-cubitan dulu biar bisa romantik, atau ada yang cukup suaminya ngasi duit banyak istrinya sudah bisa senyam-senyum bahagia (kalo ini pasti deh hehe), ada yang perlu dinner berdua, ada yang…macem2 kali ya. Barangkali ini strategi berkeluarga, ngasih bumbu, menjaga kualitas, bagi yang belum mengalami ya membayangkan saja versinya masing-masing. Ngutip hadits dikit ya,

Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan istrinya memperhatikan suaminya,” kata Nabi SAW. Menjelaskan,”maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan penuh rahmat. Manakala suaminya merengkuh telapak tangannya, maka berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela-sela jari jemarinya.

Nah disnilah yang saya maksud fantasi berlebihan karena biasanya fantasi itu yang indah-indah saja, yang engga enak hanyak dibahas sekilas, dilewati, atau kalo perlu diabaikan. Karena itulah saya sebut setelah menikah sebenernya ya biasa aja, ga gitu gitu amat. Kalo pun pengin gitu-gitu ya monggo silakan berstrategi, wong subyektif kok.
Oh iya kita bandingkan dua dialog berikut ini :

Ini yang pertama
“Dik, mbok saya dibuatin kopi”, kata seorang suami yang sedang baca koran pada istrinya yang sedang nonton sinetrun.

Si istri diem aja, langsung berangkat, bikin kopi, kemudian kembali dan langsung ngasi kopi itu,

“Ini mas”, singkat padat, jelas, lugas mungkin hampir tanpa ekspresi, dingin, frigid.
Kemudian suami meneruskan baca korannya, sang istri kembali serius menekuni sinetrunnya.

Ini yang kedua
“Sayang, buatin kopi dong, haus nih ”, sambil mengerling manja pada istrinya yang sedang baca buku.

“Ah papa ini, ganggu mama aja”, kata si istri rada-rada cemberut manja dengan senyum yang masih terlihat, berlagak ga mau, tapi pergi juga bikin kopi dan kemudian menyajikan minum dengan penuh cinta.

“Makasih sayang…., mama ini emang istri spesial deh”, kata si suami kemudian.

“Papa juga...”, kata si istri yang balas mengerling manja.

Anda pilih mana? sekali lagi subyektifitas. Tidak pasti mana yang bisa membuat Anda bahagia, yang pasti jangan sampe suatu saat keluar ungkapan seperti seorang artis peragawati di salah satu inpoteinment (dulu),

“Salah sendiri ngelayanin suami kaya gedebog pisang!” katanya dengan senyum yang rada gimana gitu.
Waduh…(puasa-puasa kok ngomong inpoteinment):P


Btw…siapapun anda yang ngirim sms, makasih sudah ngingetin saya!

Thursday, October 04, 2007

harus rumit dulu kah?

Temen saya yang seorang konsultan manajemen suatu ketika bercerita tentang kejadian di bengkel & cuci mobil salah satu kliennya di daerah Antapani Bandung. Saat itu ada Ariel Peterpan datang untuk nyuci mobilnya.

“Pak, ada Ariel tuh”, kata salah seorang pegawe bengkel.

“Ariel sapa?”, tanya temen saya sok bego.

“Alah bapak ni ga gaul pisan, eta tah Ariel Peterpan!”

“Oh itu ya, sering dia kesini?”

“Ya lumayan sih pak, sebulan sekali lah”, kata pegawe itu sambil terus ngliatin mobil yang tampak tertutup rapat kacanya dengan ariel yang masih di dalam mobil.

“Hmmm, ga diajak ngobrol? Ato minta tanda tangan ato fotonya , kan lumayan tuh buat promosi bengkel!”, kata temen saya kemudian.

“Wah boro-boro pak, buat bayarnya aja buka kacanya dikit banget!”

Ada saat dimana orang banyak yang mencari popularitas. Ngasi demo band ke produser-produser, ikut kontes-kontesan nyanyi, lenggak lenggok kesana kemari, model-modelan, dst. Ketika semua telah didapatkan ternyata orang tersebut malah seperti sembunyi dari kepopulerannya. Dalam hal tertentu dia menjadi orang yang ga ingin terdeteksi kehadirannya. Tentunya juga tidak mudah manusia yang sangat populer mencari teman sembarangan. Saya jadi inget ucapan Ariel sendiri saat acara empat mata yang ngomong bahwa menjadi orang popular seperti dirinya ga mudah, sebenernya banyak hal justru menjadi tidak bebas. Tidak bebas memilih apa yang disukainya. Semua harus sesuai keinginan penggemar. Ada keterbatasan, ada sisi manusia yang teralienasi, terasing. Apakah dia bahagia? La ya wallahua’lam dan tentu saja bukan urusan saya, tapi saya sedikit yakin kadang-kadang mungkin terbersit setitik kerinduan untuk menjadi bukan siapa-siapa.

Mari kita cari benang merahnya. Bahwa ada satu titik yang sebenarnya ingin dicapai. Titik sederhana, Sebuah kebahagian. Tapi sebelum mencapai titik sederhana itu, tentunya ada multitafsir. Ada persepsi macem-macem tentang itu. Sepertinya kalo saya populer saya akan bahagia, seandainya punya mobil saya pasti senang senantiasa, kemudian kalo saya punya rumah bagus, sepertinya…dan seterusnya. Ada ambisi, ada kerja keras, banting tulang, habis-habisan, bahkan mungkin dengan mengorbankan banyak hal. Hingga suatu saat ketika benar-benar semua sudah ada, akan muncul pertanyaan, sudahkah saya mencapai “titik itu”?

Sepertinya manusia harus melakukan banyak hal dulu, sebelum mencapai titik sederhana itu. Seorang Einstein, untuk mendapatkan sebuah rumusan sederhana E=mc2 mungkin butuh berlembar-lembar kertas dan ratusan percobaan yang gila. Being simple is not easy, katanya. Pengen labih mantep teorinya tanya OM Dante..

Kalo kita, dari hari ke hari, umur ke umur, kita selalu merasa berhadapan dengan masalah yang pelik dan seperti tak bisa dihadapi. Tapi sampai hari ini ternyata semua itu bisa terlewati. Tanpa sadar kita naik kelas. Dan dari waktu ke waktu, semakin banyak yang kita lakukan, pengertian hidup ini sepertinya menuju ke arah menjadi semakin sederhana. Barangkali suatu saat di akhirnya kita emang ditakdirkan untuk menjadi bukan siapa-siapa.

Lalu apakah benar untuk mencapai ujung kesederhanaan harus merumitkan diri terlebih dahulu? Harus ada sedih dulu, harus ada marah, harus ada jengkel, harus ada segala emosi terlebih dahulu baru kita ngerti titik bahagia di sebelah mananya?

Nunggu tua dong?

“Wah capek de……”, kata seorang temen wanita di depan saya yang menggerutu karena ngeliat saya dari tadi ngelamun aja.

Seven things yang bisa buat wanita senang :
1. Dibeliin barang-barang yang bagus-bagus,
2. Dipuja-puji oleh orang yang dicintainya
3. Didengerin dengan penuh perhatian omongan-omongannya
4. Dst
5. Dst
6. dst
7. Wah sori, terusannya sama temen-temen aja ya..saya belum gape urusan ginian…:P

Wednesday, October 03, 2007

ketemu ibu cantik...

Setelah nunggu selama hampir tiga setengah jam akhirnya kami bisa bertemu sama ibu itu.

“Aduh maaf ya, jadwal kita ketemu tadi saya cancel, saya baru liat hape tadi pagi dan ada keperluan mendadak…maaf”, katanya ketika pertama kali bertemu dengan kami.

Tadinya saya mengira akan bertemu dengan seorang yang sudah berumur (sudah tua maksudnya), tegas dan “galak”. Ternyata kemudian perkiraan saya bergeser. Hmmm…masih cantik. Seorang ibu (lebih tepatnya tante deh…) yang masih awet muda, tidak tampak guratan usia 40an akhir, padu padan baju yang cantik, modis tapi tidak berlebihan…pas. Ada satu kata lagi…energik! Dua puluh tiga tahun ibu ini menjadi profesional Multinational Company IBM, dan selama 8 tahun dia sudah menjabat sebagai PRESDIR nya. Dalam hati saya berpikir pasti ada hal luarbiasa dari ibu satu ini sehingga bisa “mengalahkan” dominasi pria dalam sebuah kompetisi karir.

“Saya bisa mengetahui seseorang cocok menjadi karyawan hanya di 5 menit pertama, di 5 menit itulah decision sudah saya buat”, katanya di sela pemaparan visi misinya menjadi Ketua ikatan alumni.

Satu hal ini yang saya catat di kepala saya. Itu adalah salah satu kemampuan yang terbentuk karena pengalaman. Dua puluh tiga tahun tentu bukan waktu yang singkat. Kalo bagi saya sih ini peluang bisnis hehehe…, bagaimana kalo dibuat e-learning ato multimedianya bu? Tentang interpersonal skill, tentang banyak hal managerial, dan lain lain. Bukankah ilmu berharga itu bisa dibuat panduannya? Ibu sebagai narasumbernya. Mungkin ini suatu saat yang akan saya tawarkan.

Obrolan berlanjut ke persoalan entrepreneurship, terutama di kalangan alumni yang masih muda. Ada sebagian alumni yang beruntung ketika kemudian mendapatkan networking yang cukup luas. Networking disini tidak hanya sekedar dalam hal mencari modal tapi juga dalam hal mendapatkan pasar. Ibu cantik ini mengungkapkan bahwa banyak di kalangan alumni yang punya uang banyak dan juga banyak yang telah menjadi decision maker di perusahaan-perusahaan besar (ya termasuk ibu ini tentu saja), akan tetapi selama ini yang terjadi adalah hanya segelintir alumni muda “yang beruntung” yang bisa mendapatkan akses tersebut, lebih banyak yang merangkak sendiri, banting kanan banting kiri, mencoba survive sendiri. Di satu sisi tentu saja bagus,menjadi kuat sendiri, tapi ada satu hal yang sebenernya bisa dicapai dengan adanya network yang luas yaitu akselerasi.

Menjembatani pertemuan antara pebisnis muda dengan pebisnis tua ato dengan kalangan industri. Toh katanya ada banyak banget alumni yang jadi decision maker di beberapa perusahaan besar, dia menyebutkan beberapa contoh para decision maker temannya yang bisa dikontak dengan mudah. Kemudian dimasukkan sebuah ide investor forums yang dilaksanakan secara berkala dengan tema yang berkesinambungan. Tentu saja in sebuah ide yang perlu didukung. Idenya! dan tidak mesti orangnya.

Ya inilah yang sedang rame digelar oleh salah satu universitas yang katanya pernah menjadi terbaik . Katanya lo ini, belum tentu juga. Pemilu Ikatan Alumni. Euphoria politisi muda, dukung mendukung, kasak kusuk sudah mulai terasa. Selain presdir MNC tadi, ada satu menteri, dirut salah satu BUMN, dan pengusaha lumayan gede yang meramaikan bursa pencalonan. Hmmm…biasanya para calon itu jadi lebih ramah dari biasanya, tangan jadi lebih terbuka, senyum lebih banyak ditebar. Undangan sana sini, loba lobi…Yang muda-muda ikut bergerak mencari “sandaran”, mencari batu loncatan sapa tau kecipratan bau kemenyannya.

Sepertinya semua calon punya visi yang mirip. Tidak ada yang beda. Selalu melangit. Yang membedakan adalah komitmen dan idealisme. Saya sendiri heran kenapa orang-orang itu yang notebene sudah punya jabatan “aduhai” dan berkelas mau-maunya berebut kursi ketua IA. Saya pernah nanyain ke temen saya yang notabene alumni universitas lain tentang pemilu ikatan alumni mereka dan ternyata kondisinya memang tidak seheboh pemilu IA ini.

Kalo saya sih mikir oportugisnya aja, diajak roadshow ke para calon, ayo aja, bawa produk dan proposal sekalian iseng-iseng ketemu para orang hebat yang memang punya “aura”. Sapa tau ketularan nantinya. Ketularan yang baik-baiknya...

Tuesday, October 02, 2007

hanya begini, seperti ini...saja

Di Bandung ini ada sebuah warung es yang sangat laris. Tempatnya di daerah Tubagus Ismail, terkenal dan bahkan sudah masuk acara kuliner tipi. Sop buah/Es shanghai Fadhilah kalo Anda pengen tau namanya. Warung ini emang luar binasa. Apalagi pas puasa ini, ramenya minta ampyun deh! Saking ramenya, penjualnya bahkan seperti sudah lupa dengan istilah senyum sebagai materi jualannya. Kalo istilah kerennya cool. Tidak perlu senyum, senyum hanya untuk penjual yang tidak berhasil, tidak rame dagangannya. Toh keberuntungan sudah di depan mata dia. Semua pembeli telah menjadi umatnya, para evangelis yang siap membela “mati-matian”, berfatwa ndower kesana kemari tentang barang yang sedang dibelinya (diantre) olehnya.

Saya ini bisa jadi juga termasuk orang yang aneh, sudah antrenya mengular gitu, tapi tetep nekat berambisi untuk dapet es seciduk kecil yang harganya pun ga seru seru amat, cuma 5000 an perak.

“Yess!” Seru salah seorang teteh mahasiswi kece yang sumringah begitu mendapatkan es seciduk itu.

Malah ada yang lebih dramatis lagi ketika dah dapet barangnya, kemudian cerita ke bapak ibunya.

“Mah, aku menang!” , katanya berbinar binar seperti habis dapet lotere satu miliar.

Memang yang dijual hanya sekedar es yang kemudian sering juga disebut sop buah. Sop buah adalah ya buah macem-macem mule dari melon, labu, timun suri, apel, anggur, dll yang diiris-iris besar kemudian dikasih kuah air kelapa, finishingnya dileletin susu putih. Anda membayangkan gimana? Tapi pertanyaannya kenapa merelakan antree berdiri berderet-deret di warung itu?? Apa ngga ada warung laen yang jual? Jawabannya adalah tentu saja ada dan banyak!

“Seperti pemandangan antri sembako jaman G30S aja!”, kata saya yang ternyata ikut antri juga (hehehe).

Sungguh saya sendiri sering heran terutama pada diri sendiri kok mau-maunya ikut dalam “perburuan dan pertarungan” seperti itu. Dan emang, pertarungan kaya gini ternyata adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Kadang dia melebihi harga yang harus dibayarkan. Okelah es tadi enak, tapi apakah dengan meminumnya bisa sampe buat kita mabuk kepayang, meregang kesana kemari dan terserang ekstase menjadi sensasi tiada henti? Antrean mengular, penasaran, sensasi bercerita dan “rasa kemenangan” bisa jadi lebih mendominasi fantasi saya daripada kenyataan nantinya.

Saya jadi inget lagi kebiasaan temen saya yang rela berganti-ganti toko hanya untuk memburu obral dan mendapat satu barang murah (padahal harganya juga ga beda-beda jauh). Semangat 45 nya kadang membuat wajah saya terpaksa harus rada berlipet-lipet mengikuti kemana arah langkahnya. Bagi temen saya, bukan di nilai barangnya tapi di kepuasan dan kenikmatan seolah telah menemukan harta langka ato bahkan mungkin memenangkan sebuah pertempuran besar.

Itulah mengapa di puasa ini saya lebih sering lapar mata dalam artian berfantasi yang berlebihan daripada kenyataanya. Fantasi saya tentang rasa es (sop buah) yang begitu luar biasa akan segera menjadi biasa saja ketika bedug magrib tiba. Cukup seteguk, dahaga sudahlah. Ato fantasi seorang perjaka tentang sebuah mahligai pernikahan (hahaha..berkaca diri sendiri) yang akan berbunga-bunga, penuh romantisme dan luar biasa indahnya-seperti provokasi buku. Padahal sepertinya di kenyataan sesudahnya ga gitu gitu amat ya? Sepertinya semua akan menjadi biasa-biasa aja.

Sesuatu yang belum terjadi kadang begitu kita dewa-dewakan, kita lebih-lebihkan. Ngutip istilah dari Prie GS, Kehausan dan kelaparan adalah sesuatu yang disini, begini dan hari ini, sering “cuma” butuh teh panas setegukan. Tetapi ketika ia ditempatkan “disana” terpaksa dibutuhkan sekarung lauk pauk, sebakul nasi, satu truk buah-buahan, 10 hektar lapangan golf, rumah mewah, pulau, dan seterusnya…

Padahal kehausan cuma seperti ini, cuma begini.

Seven things yang boleh/tidak boleh dilakukan/disiapin sebelum berbuka puasa :
1.Kalo pengen rada gretongan, dateng ke mesjid biasanya ada tajil gratis.

2.Makan/minum yang manis-manis tentu saja, kalo punya istri yang manis ya bolehlah diajak ikut serta .

3.Jangan nunggu buka sambil berenang, rada riskan soalnya.

4.Eh sambil nunggu bedug jangan ngerumpi, soalnya takut berisik, bisa bisa ga kedengeran bedug adzannya.

5.Sungguh hindari berbuka puasa di tempat dugem, soalnya sebelum bedug dah banyak yang ngrokok, takut asepnya masuk ke kita, batal duluan deh puasanya.

6.Jangan nyiapin jack daniels, vodka, wine, ato bir buat berbuka soalnya dijamin lebih mahal daripada kolak.

7.Jangan berantem, entar capek (kalo ini ga ada hubungannya deh). “Biariiin!”, kata temen saya.