headerversi2

Wednesday, March 05, 2008

Kulinaria (II) - Warung Sate yang CEO nya sarungan

Ada beberapa kebiasaan saya kalo datang ke warung makan yang rame,

  1. sambil menunggu makanannya datang, biasanya saya lirik kanan lirik kiri ngelihat situasi apa sih sebenernya yang bikin warung tersebut rame.
  2. tentu saja apa sih keistimewaan makanannya, rasanya, seberapa cepat pelayanannya
  3. biasanya ngitung-ngitung (kira2 aja) omzet warung tersebut. Memang kurang kerjaan, tapi ga tau deh…ini otomatis!:P
  4. saya biasanya nanya siapa pemiliknya dan mencari-cari adakah sosok pemiliknya di situ. Bagaimana saya menebak pemilik warung? Inilah yang bagi saya menarik, karena pemilik bisnis yang sukses akan punya aura. Melihat dan merasakan aura sukses bagi saya sangat menyenangkan. Beberapa CEO warung sukses biasanya orang yang punya vitalitas, antusiasme dan semangat yang sangat tinggi. Saya beberapa kali mendapati banyak dari mereka ini yang “hanya” lulusan SMU (kadang malah SDTidak Tamat), tapi mereka sangat yakin dengan diri mereka sendiri. Satu hal lagi, biasanya CEO warung yang sukses, orangnya….lucu!

ya

Warung ini ruameee poll, mbanyu mili istilah jawanya! WARUNG SATE SIDAREJA, jalan Sunda dekat rel kereta api. Saya ga tau persis berapa lama warung ini sudah berdiri, tapi ketika dulu pertama kali saya dateng (tahun 2004?), walaupun sudah lumayan rame, tapi belum sebesar dan sebersih ini. Sepertinya memang baru saja direnovasi. Dulu masih satu lantai, sekarang sudah dua lantai, dulu dindingnya terlihat suram sekarang tampak semakin cerah, Dulu pegawainya hanya sekitar 10 orang, kemaren saya nanya sudah ada sekitar 40 orang. Wow..mantaph!

Ada sekitar 30-35 meja di lantai satu, di lantai dua ga tau ada berapa, mungkin 20 an meja. Inilah setelan warung yang saya suka, sedikit terbuka, tapi tetap “berjarak” dengan dunia luar. Kalopun hanya sedikit manusia yang ada disitu, mungkin kita akan tetap merasakan aura rame. Suara kompor dan air yang menggelegak, pelayan yang (sok sibuk) mondar-mandir mencatat pesanan, kalo perlu ditambah suara kipas angin adalah kesan dan pesan bahwa Anda tidak sendirian di warung ini. Catatan pertama adalah warung yang rame akan menjadi semakin rame.

Kami bertiga memesan tongseng kambing tiga porsi dan sate polos satu setengah porsi. Berbeda dengan dulu, penyajian sate kali ini telah mengalami modifikasi yaitu sate diletakkan di atas hot plate. Saya beroleh momen, di atas hotplate yang berisi sate kambing ngepul itu saya peras jeruk sambel. Cesss…air perasan membuat bau harum langsung meruah menggoda lidah dan perut kami.

Satu, dua, Mulai!

Sate kambing lah yang pertama kali menyentuh lidah. Hmmm…rasa satenya tetap mantaff (kata orang sunda mah), hanya empuknya kambing yang berubah, rada bikin pegel ngunyahnya. Saya rasakan lebih empuk yang dulu. Sulitnya warung laris adalah jaga kualitas bahan baku. Ini hampir sama dengan kasus temen saya, buka warung bebek (rame juga) yang beberapa kali juga repot cari bahan baku bagus. Tongsengnya saya rasa lebih oke, kental, mblenek mak sekk…Satu persatu ludes dan cukup bikin puyeng (jangan2 kecenderungan "tinggi" nih..:D). Kalo yang lincah ngoceh makanan mbak mendol satu ini deh…


Selesai makan, hujan masih gede banget. Memaksa menerobos hujan saya pikir bukan ide yang oke, karena itu diputuskan menunggu. Sambil menunggu hujan reda, kami duduk-duduk di dekat dapur bakarnya. Disitu ada pencatatan pesanan. Iseng-iseng saya nanya ini itu. Dari hasil tanya-tanya itu :


  1. Dalam satu hari (peak time sabtu minggu), ada sekitar 200 meja pesanan. Katakanlah satu meja memesan rata-rata 4 porsi. Asumsi satu porsi orang pesan makanan dan minuman 25 ribu. Omzet sebulan (sabtu minggu) sekitar 160 juta.
  2. Untuk hari lain dalam sebulan (senen sampe jumat), asumsi omzet harian setengah dari jumlah di atas. Berarti sebulan omzetnya adalah 220 juta.
  3. Total omzet sebulan 380 juta.
  4. Overhead pegawai 40 orang, ambil rata-rata gaji 1 juta (level atas sampe bawah), maka gaji total sebulan 40 juta.
  5. Bahan baku. 5 kuintal daging, ayam, sapi, dan lain-lain sekitar 20 juta.
  6. Rumah sendiri (tidak sewa),2
  7. Lain-lain (maintenance gedung, pembersih dll) 5-7 juta.
  8. Pendapatan sebulan mungkin sekitar 380 juta dikurangi 70 juta sebulan!! Berapa hayoooo! Wakss!

Ada overhead lagi yang belum??

Dan Mas Gino sang CEO, cukup sarungan buat inspeksi. Mungkin sudah ngaspal jalan di Sidareja sana, bikin masjid, ato barangkali nyalonin diri buat 2009?? hehe

Monday, March 03, 2008

kulinaria (I)

Ada dua jenis warung yang saya cari dari jalan-jalan kulinaria. Satu, mencari warung yang sangat rame pengunjungnya, dua mencari warung yang kelihatannya enak tapi sepi banget. Dua-duanya dirangsang oleh rasa penasaran. Katakanlah ada dua warung menjual barang yang sama, harga sama, rasa tidak kalah jauh, tapi dalam kenyataan nasibnya bisa sangat berbeda. Inilah menariknya dunia kuliner, lebih banyak ketakterdugaan, keberuntungan, dan seringkali justru anti marketing.


Saya pernah bikin warung jus yang kemudian karena satu dua hal saya ubah jadi warung batagor-bakso. Pernah sepi, pernah (sedikit) rame dan juga sekalian bangkrutnya :D. Untuk kasus warung itu, saya tahu penyebab ketiga-tiganya. Kasus kuliner bagi saya menarik. Warung bagi saya adalah model sebuah bisnis yang lengkap. Kita berbelanja bahan mentah dan bahan baku, mengolahnya jadi masakan siap saji, menjual, memasarkan, mengatur cashflow, dan kalo warung bertambah gede-banyak cabangnya maka akan bicara masalah distribusi. Mulai dari proses produksi (urusan orang teknik), keuangan, manajemen, pemasaran (orang ekonomi) sampe perdukunan pun kadang ditawarkan. Satu hal kelebihan warung adalah bisa dilakukan dengan modal sekecil2nya dan sekaligus bisa juga sebesar-besarnya.


Mengapa warung yang sangat sepi menarik untuk dikunjungi?


Semua pasti ada formulanya, saya bisa belajar kesukesan tidak hanya dari warung rame tapi juga warung yang sepi. Seperti halnya warung Bakso Kota Cak Man yang ada di Jalan Dipati Ukur Bandung. Bagi orang Malang mungkin akan segera mengenalinya karena memang asal muasal warung ini dari sana, tapi bagi orang Bandung rupanya warung ini musti kenalan lebih jauh lagi deh. Letak Strategis, di jalan utama, diapit dua universitas swasta yang rame ternyata tak membuat warung ini banyak penggemarnya. Karena itulah minggu kemaren saya mencoba masuk kesana.


Tempat parkir luas, dan walo berada di antara dua universitas, tapi bukan berada di zona macet, sehingga masih nyaman untuk berparkir ria. Nah ini dia! Saya menemukan penyebab pertama. Dari luar warung ini terlihat sangat sepi. Saya ingin makan di tempat makan, bukan di kuburan. Walo saya tidak ingin diganggu pengunjung lain, tapi saya ingin ada banyak orang untuk lirik-lirikan. Ini adalah semi lingkaran setan, warung rame akan menjadi semakin rame, warung sepi akan menjadi semakin sepi.


Setelah itu, pilih dan ambil sendiri baksomu! Hmmm, bakso goreng, siomay basah, siomay kering, rolade tahu dengan telur puyuh di tengahnya, bakso urat dua biji, dan hey…ada siomay dibungkus kol! Cukup, itu porsi saya. Taburkan seledri dan bawang goreng di atasnya. Setelah pelayan menuangkah kuah khas bakso malang, yang tidak terlalu kental ato nggajih istilahnya, wuahh..harum bawang langsung semerbak, melirik ke temen yang tampak menikmati aroma itu sambil senyam-senyum.


Saya menuju tempat duduk di pojok biar bisa melihat situasi. Menyeruput kuah terlebih dahulu, lalu sok nge- Bondan Winarno…hehe. Rasa yang pas (enak tapi ga banget-banget lah) dan harga tidak terlalu tinggi sebenernya. Tapi sekali lagi mengapa sepi? Saya melongok kiri kanan depan belakang. Ah ini! Tadinya saya bingung apa ya yang bikin saya ga nyaman, kemudian saya ketemu dinding itu! Dinding inilah yang jadi pemisah suasana di dalam dengan suasana di luar warung. Untuk sebuah warung bakso, sekali lagi yang konsepnya warung, hal ini diartikan sudah mengkhianati khittahnya. Bakso kalo saya pikir adalah makanan sekunder yang dimakan rame-rame, tidak serius, santai, hahahihi sesekali ngerumpi. Warung bakso bukanlah rumah bordil, dia harus “terbuka”, tidak jaim, mau bergaul dengan dunia luar. Dinding itu adalah sebuah kesalahan cukup fatal!


Seperti yang saya alami, satu kesalahan akan merembet ke kesalahan lain. Jus yang belum diberi gula, pelayan yang tak berseragam dan seterusnya hanyalah efek ikutan dari kesalahan pertama, yaitu warung tidak rame! Dua jam saya nongkrong (jam makan siang), pengunjung hanya bertambah sekitar 10 orang. Katakanlah masing2 membelanjakan 15 ribu, saya berasumsi kasar omzet sehari 900 ribu. Wah memble nih untuk tempat sebagus dan segede itu. Kalo tidak berubah ya tunggulah kejadiannya. Nah ini petualangan ke warung yang tidak rame, besok kita akan ke warung yang sangat rame! Sok tahu bener ya…namanya juga pengamat hehehe.


Hari minggu kemaren ini, saya ke warung sate Sidareja yang ruameee poll! Saya sempat ke dapurnya dan nanya ini itu, sempat ngitung-ngitung…Hmmm, menarik untuk dibahas, setelah posting ini deh.