headerversi2

Friday, June 20, 2008

Negara Mafia atau Mafia Negara ? ( I )

Nulis buat kolom surat pembaca masuk ga ya?

Hari Rabu (18/6/08) malam kemarin pukul 22.30 saya menyaksikan tayangan program Metro Realitas di stasiun TV Metro. Tema yang diangkat membuat saya sangat geram sekaligus tidak habis pikir. Di tayangan program tersebut diberitakan bahwa beberapa petani jagung di Kediri dihadapkan pada tuntutan hukum (malah ada yang sampai dipenjarakan 5 bulan) karena inisiatif dan kreativitas mereka dalam pemuliaan bibit jagung. Inisiatif dan kreativitas ini muncul sebagai respon terhadap tingginya harga bibit jagung hibrida yang mencapai Rp 50.000,00 per kg (bandingkan dengan harga bibit hasil pemuliaan para petani yang hanya Rp 15.000,00 per kg). Tingginya harga bibit ini membut mereka tidak dapat mengambil untung dari usaha pertaniannya.


Dan siapa pihak penuntut para petani tersebut? Tentu saja perusahaan pemilik/penjual bibit jagung hibrida multinasional (berbasis di Thailand) yang kabarnya terbesar se-Asia. Tuntutan yang diajukannya adalah pelanggaran terhadap HAKI, dan tuntutan ini di-back up juga oleh Yayasan Perlindungan Konsumen. Melalui segala lika-liku persidangan dengan ideologi pasar bebasnya, maka persidangan pun (tentu) dimenangkan oleh si korporasi global. Namun sangat mungkin sekali, para petani itu dihukum karena tidak mau menanam jagung menggunakan bibit yang dijual oleh si korporasi global. Sementara di sisi lain, aparatur negara pun dengan segala daya upaya ‘memaksa’ untuk hanya menggunakan bibit keluaran korporasi global tersebut dan tidak memberi ruang sedikitpun kepada para petani untuk berkreasi dan mengembangkan kemampuannya di bidang pemuliaan bibit tanaman.


Pertanyaan terbesar dalam benak saya adalah : Kepada siapakah sebenarnya keberpihakan pemerintah dalam hal ini? Jika berpihak kepada para petani (yang menurut saya adalah pahlawan pangan nasional), mengapa pemerintah hanya diam terhadap masalah ini? Mana political will pemerintah dalam kasus ini? Mengapa pemerintah c.q. Menteri Pertanian tidak mati-matian membela para petani itu? Bukankah ini menyangkut harga diri dan kepentingan bangsa? Apakah tuduhan melanggar HAKI sudah tepat digunakan dalam masalah ini? Bukankah alam, tanah, tumbuhan dan segala isinya adalah anugerah Tuhan yang boleh dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh manusia untuk kesejahteraan bersama? Dan lebih mendasar lagi, bukankah para petani itu adalah lapisan masyarakat yang paling berjasa menjaga perut masyarakat Indonesia namun selama ini (disadari atau tidak) disingkirkan? Mengapa pemerintah tidak berusaha memuliakan mereka walaupun hanya sekali ini saja? Bahkan Amerika yang negara adidaya pun melakukan proteksi ketat terhadap pertaniannya...


Mungkin kita harus belajar pada Jepang dan China pada masa awal kebangkitan mereka beberapa dasawarsa silam. Mereka menyadur habis-habisan semua teknologi dari barat dan kemudian dijiplak dan dikembangkan berdasarkan kemampuan mereka. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘Reverse Engineering’. Hebatnya, pemerintah Jepang dan China mendukung habis-habisan usaha ini dan melindungi para pelaku reverse engineering dari segala tuntutan, termasuk tuntutan terhadap pelanggaran HAKI. Teknologi itu harus direbut !


Namun jika keberpihakan pemerintah adalah kepada korporasi global tersebut, maka saya tidak bisa menyalahkan aksi diam aparat negara terhadap kasus ini. Berarti benar dugaan saya bahwa negara ini diatur dan diselenggarakan dengan azas mafia, dan aparat-aparat negara pun sudah menjadi perangkat mafioso. Siapa yang menjadi Don, siapa yang menjadi Consigliori, siapa yang menjadi Caporegime, tentu kita sudah bisa menduga. Toh sangat jelas di depan mata, siapa saja mereka itu.


Wahai Bapak Presiden dan Wapres, wahai anggota dewan yang terhormat, wahai Bapak Menteri Pertanian... (Wahai Pak Prabowo??)..Bangunlah! Bukalah mata! Gunakan hati nurani! Dan kepada para petani Indonesia...malang nian nasibmu...